Pages

Thursday, April 2, 2020

Petualangan Laut di Nusa Lembongan


Cerita ini dimulai ketika seorang kawan menawarkan sebuah paket liburan seru, yang didalamnya terdapat aktivitas sea walking - berjalan di dasar laut dengan menggunakan helm kedap air. 
Saya amat suka pantai. Saya juga suka laut. Tetapi, saya sebenarnya tidak suka air. Takut lebih tepatnya. Ada pengalaman - pengalaman tidak menyenangkan dengan air dimasa lalu yang cukup traumatis. Iya! Saya sengaja sebut 'pengalaman - pengalaman', karena tidak cuma sekali.

Jujur! Hari itu saya cukup galau untuk memutuskan "iya" atau "tidak" untuk ikut serta dalam liburan itu. Dari lubuk hati yang paling dalam saya cukup tertarik, terutama dengan aktivitas sea walking. Karena sebelum ada tawaran ini, saya sudah sangat penasaran dengan kegiatan tersebut. Bagaimana tidak? Kita dijanjikan akan dapat mengeksplore keindahan laut tanpa dituntut untuk harus punya diving license atau paling tidak pengalaman menyelam serta skill berenang yang mumpuni.
Hanya saja, satu kekhawatiran saya! Paket liburan itu mengharuskan kita untuk menyeberang ke sebuah pulau kecil bernama Nusa Lembongan dengan menggunakan speed boat. Saya tidak ada pengalaman mabuk laut, tetapi saya takut kalau kena panic attack diperjalanan menuju pulau jika saya ke-trigger dengan suatu hal yang bisa mengingatkan saya pada kejadian masa lalu. 

Saya pun meminta waktu untuk berpikir; lupa berapa hari tepatnya. Yang jelas di masa 'tenggang' itu saya mulai mengumpulkan informasi - informasi penting, salah satunya tentang letak Nusa Lembongan (posisi dan jarak dari pulau utama - Bali), waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke pulau dan rute speed boat. Informasi ini penting bagi saya untuk menyusun rencana untuk mengantisipasi dan menghadapi kemungkinan teburuk yang mungkin terjadi jikalau panik saya muncul di tengah perjalanan. Saya pun buka peta - mulai google map hingga google earth. Iya! Sampai segitunya. Mungkin ada yang berpikir saya terlalu berlebihan, tapi saya termasuk orang yang berprinsip 'harus sedia payung sebelum hujan".

OK! Diketahui jarak antara ujung pulau Bali (dari daerah Sanur) ke Nusa Lembongan ialah sekitar 14 km dan dapat ditempuh dalam waktu 35 menit dengan speed boat. Perjalanan ini memungkinkan untuk saya lakukan. 

Posisi Nusa Lembongan terhadap pulau Bali. Bagian atas menunjukkan arah Utara (saya lupa capture arah mata anginnya) Titik hijau menunjukkan tempat penyeberangan di Pulau Bali.
Informasi berikutnya yang saya cari adalah berapa lama waktu yang dialokasikan untuk kegiatan di laut dan di darat - eksplor pulau - serta fasilitas apa saja yang diberikan oleh penyedia jasa paket wisata. Ini juga penting bagi saya untuk memutuskan apakah paket liburan ini patut untuk saya perjuangkan. Sebagai seorang yang suka jalan - jalan, menggunakan paket wisata adalah hal yang kurang saya sukai karena tidak leluasa untuk menentukan destinasi yang ingin dikunjungi dan waktu yang akan dihabiskan. Berdasarkan penuturan kawan saya, paket wisata seharga (kalau tidak salah ingat) Rp 600.000,- ini akan mengajak kami untuk berpetualang di laut melalui kegiatan sea walking, snorkeling, dan naik banana boat. Selain itu, kami akan diajak menjelajahi Nusa Lembongan, termasuk mengunjungi spot wisata iconic seperti Devil's tear, Dream Beach, dan Mushroom Bay. Penyedia jasa wisata menyediakan speed boat untuk menyeberang dari Bali ke Nusa Lembongan (PP), makan siang, seluruh peralatan yang digunakan untuk berkegiatan, seperti life jacket, peralatan sea walking dan snorkeling, serta transportasi darat untuk berkeliling pulau. Untuk kegiatan sea walking disediakan juga jasa foto bawah air, tetapi harganya terpisah dan bisa memilih untuk mengambil hard files, soft files atau keduanya (maaf saya lupa berapa harganya). Setelah mengetahui detail dari itinerary yang akan saya lakukan, saya pun meng-IYA-kan ajakan kawan saya.

Bagaimana perasaan saya? Tentu saja senang sekali! Sangat excited. Hingga dua hari sebelum keberangkatan, entah ada angin apa kekhawatiran saya muncul kembali. Posisi saya saat itu sedang tidak di pulau Dewata, tetapi di pulau besar sebelah timurnya - Pulau Lombok - karena urusan pekerjaan. Tiba - tiba saya enggan untuk kembali ke Bali. Muncul perasaan yang sangat kuat untuk menghindari perjalanan yang telah disepakati itu, sampai - sampai saya berharap agar penerbangan saya yang hanya 20 menit dari Lombok ke Bali dibatalkan. Saya juga mencoba menghubungi kawan saya agar slot kursi saya dibatalkan. Untungnya, penerbangan saya tetap berjalan seperti jadwal dan pesanan saya sudah tidak bisa dibatalkan. Hanya ada dua kemungkinan jika saya tetap berisikeras untuk mangkir dari wisata itu, yakni merelakan uang enam ratus ribu rupiah atau mencari seseorang yang mau menggantikan posisi saya dan mau membayar sejumlah uang tersebut. 

Hari keberangkatan tiba. Saya pun bersiap dengan penuh kecemasan. Jangan tanya mengapa saya bersikap seperti itu karena sejujurnya saya juga bingung. Bisa jadi karena saya akan berinteraksi langsung dengan milyaran kilometer kubik volume air atau karena saya akan melakukan perjalanan dengan speed boat atau alasan lain. Terlepas dari apapun itu, saya cukup bangga dengan diri saya karena rasa penasaran saya lebih kuat ketimbang rasa takut saya. Saya berangkat! Saya dan tiga orang teman sepakat bertemu di warung makan langganan dekat tempat kos untuk berangkat bersama ke titik kumpul. Iya! Tempat tinggal kami berempat cukup dekat.

Waktu berkumpul hampir tiba ketika seorang kawan secara mendadak membatalkan keikutsertaan dirinya karena suatu hal. Alhasil saya dan kedua teman yang lain kelimpungan mencari penggantinya. Singkat cerita, ada seorang teman lain yang berminat untuk bergabung. Beruntung, jadilah, kami berempat berangkat bersama menuju titik kumpul sebelum menyeberang ke Nusa Lembongan, yakni di Inna Grand Bali Beach Hotel. Kami dijadwalkan untuk menyeberang sekitar pukul sembilan pagi bersama dengan beberapa orang dari kelompok lain. 

Kami yang sedang bosan mengunggu waktu berangkat ke Nusa Lembongan.
Laut pagi itu cukup bergelombang. Speed boat yang kami naiki menghentikan mesinnya beberapa kali. Bagaimana kondisi saya? Alhamdulillah baik - baik saja. Berusaha untuk tetap tenang, berdoa, mengatur nafas, dan mengalihkan pikiran negatif saya dengan mengajak rekan saya mengobrol. Sesekali saya mengamati keadaan sekitar, memastikan kalau masih ada daratan yang terlihat. Kenapa? Karena itu membuat saya tenang. Akhirnya, badai pun berlalu! Kami tiba di tujuan pertama - sebuah semacam markas berbentuk portable port untuk sea walking, snorkeling, dan banana boat. 

Kondisi speead boat penuh penumpang jadi kami berempat tidak bisa duduk bersama.
Inilah kami berempat. Erna, Indah, saya, dan Hendro (dari kiri ke kanan) berfoto setelah sampai di port dengan selamat. Alhamdulillah.
Kami bergantian turun dari speed boat, lalu segera bersiap untuk memulai aktivitas pertama kami - sea walking. Pada dasarnya kegiatan ini hampir mirip dengan menyelam. Hanya saja kita tidak menggunakan peralatan menyelam, tetapi mengenakan helm kedap air yang di dalamnya dialiri oksigen untuk kita bernapas. Dan posisi kita tidak berenang, tetapi berjalan di dasar laut. Meski terkesan lebih aman, sea walking juga memberlakukan prinsip yang hampir sama dengan menyelam. Harus pelan - pelan untuk turun dari permukaan ke dasar laut, begitu juga sebaliknya agar tubuh kita bisa beradaptasi dengan perbedaan kondisi lingkungan seperti perubahan tekanan air, agar tidak syok. 

Kegiatan berjalan di dasar laut ini dilakukan secara berkelompok. Kalau tidak salah ingat, setiap kelompok terdiri dari empat orang dan diberi waktu sekitar 10 - 15 menit untuk menikmati keindahan dasar laut sambil memberi makan ikan, berpose dan berfoto. Setelah beberapa saat mengantre, giliran kami pun tiba! Satu per satu kami turun ke dasar laut dengan perlahan - lahan. Selangkah demi selangkah saya menuruni tangga dari port menuju ke dasar laut kurang lebih sekitar 10 meter. Sayang sekali, arus air di bawah laut pada hari itu lebih kencang dari biasanya, sehingga kondisi di bawah laut tidak sejernih dibandingkan ketika air laut tenang. Meski di bawah laut terdapat tali untuk kami berpegangan agar tidak terhempas oleh arus air, hari itu cukup sulit - khususnya bagi saya. Untungnya dengan bantuan abang pemandu sea walking, kami tiba di lokasi yang direkomendasikan untuk berfoto dengan selamat. 

Beginilah kondisi kami di bawah laut. Dikerumuni ikan - ikan karena kita membawa makanan mereka di tangan. Tali putih yang terlihat itu, selain berfungsi sebagai penunjuk jalan, juga untuk kami berpegangan agar tidak terombang - ambing oleh arus air laut.

Di spot foto ini kami bebas untuk berpose dan berfoto - ada foto bersama dan individu. Ada abang photographer di bawah air yang sigap untuk mengabadikan momen kami di dasar laut. 
Sembari menunggu giliran untuk berfoto, saya bermain dengan ikan. Meski laut cukup keruh pada saat itu, saya beruntung masih bisa melihat ikan - ikan berenang di sekitar saya walau tanpa kaca mata. Setelah berfoto, saya masih menikmati momen bersama ikan hingga saya mulai kehilangan ketenangan saya. Entah karena faktor apa, saya mulai panik dan merasa kesulitan untuk bernapas. Saya imbuhkan kata 'merasa' karena mungkin saja itu hanya halusinasi saya ketika mulai panik. Saya memberi signal ke abang pemandu untuk segera naik ke atas. Dan untungnya abang pemandu dengan sigap paham signal saya dan membantu saya untuk naik ke atas. Perlahan - lahan saya berjalan menuju atas permukaan sambil mengatur napas. Sesampainya di atas saya mulai mendapatkan ketenangan dan mencoba untuk bersikap biasa saja hingga tidak ada rekan saya yang menyadari apa yang baru saja terjadi. Terus terang saya malu jika ada yang tahu. Ini pertama kalinya saya bercerita segamblang ini tentang insecurity saya.

Botol yang ada di tangan saya berisi makanan ikan. Jadi, kami bermain sambil memberi makan ikan - ikan agar mau berkumpul.

Iya ini saya yang sedang berusaha untuk tetap tenang dan senang di dasar laut.
Kalau ada yang bertanya bagaimana rasanya sea walking, saya akan jawab itu sangat menyenangkan. Rasanya seperti berkunjung ke 'dunia lain'. Di dalam air, kami tidak dapat berkomunikasi secara verbal karena helmet kedap air yang kami kenakan membuat suara kami menggema di dalam dan hanya bisa kami dengarkan sendiri. Kami berkomunikasi dengan bahasa isyarat yang telah diajarkan di atas port sebelum kami turun ke bawah laut. Helm kedap air itu cukup berat, tetapi tidak terasa bebannya ketika menyelam ke bawah air. Untuk orang - orang dengan claustrophobia, mungkin akan sedikit menyeramkan ketika mengenakan helmet itu.

Seusai sea walking, saya dan teman - teman saya bersnorkling. Saya tidak banyak bergerak karena kejadian yang baru terjadi. Hanya mencoba berenang di sekitar port menggunakan life jacket, lalu berdiam mengamati pemandangan laut dan langit yang biru. Sangat disayangkan memang. Tetapi bagi saya tidak masalah karena memang sejatinya saya adalah seorang penggemar atmosfer 'biru'. Sebatas itu.

Saya cukup berenang dan bersnorkling di sekitar port saja.
Lalu bersantai sambil menikmati pemandangan.
Tidak lupa mengabadikan momen.


Puas berenang dan bersnorkling, tiba waktunya untuk naik banana boat. Saya termasuk orang yang sudah berpengalaman dengan atraksi ini. Saya hapal betul kalau nanti perahunya PASTI akan sengaja dibalikkan di suatu spot tertentu. Biar seru. Dulu, saat pertama kali saya mengunjungi pulau Dewata - jaman SMA - saya pernah basah kuyup sepanjang perjalanan dari Tanjung Benoa ke wisma tempat kami menginap karena tidak 'siap' untuk 'berenang' di laut gara-gara naik banana boat. Beberapa teman sudah mengingatkan untuk mengurungkan niat saya saat itu mencoba atraksi itu dengan dalih "Kamu nggak bawa baju ganti!". Tapi dasarnya saya penasaran plus keras kepala, peringatan itu tidak saya indahkan. Dalam batin saya, "Kalau pegangan kuat pasti tidak akan jatuh". Bengah. Tentu saja sebatas tekad yang kuat tidak cukup untuk mengalahkan strategi dari pengemudi banana boat yang sudah sangat berpengalaman dalam 'menjatuhkan' penumpangnya. Alhasil mau tidak mau saya  harus berenang dengan pakaian satu - satunya yang saya kenakan hari itu. 

Kembali ke Nusa Lembongan. Kami berempat ternyata belum cukup untuk mengisi slot yang tersedia di perahu pisang itu, sehingga kami dipasangkan dengan dua orang wisatawan dari kelompok yang lain. Semakin ramai, semakin seru. Dan kami siap! Termasuk saya yang sudah mulai beradaptasi dengan kondisi lautan, bersemangat untuk bermain dengan kecepatan. Perahu mulai bergerak perlahan dan berangsur - angsur menambah kecepatannya. Satu putaran terlampaui dengan aman. "Oh nggak diceburin", gumam saya dalam hati - terlalu cepat menyimpulkan. Pada putaran terakhir, sang pengemudi mulai beraksi. Perahu diolengkan dan "BYUR!", kami terhempas ke laut. Seingat saya, hanya dua orang dari kami yang berhasil bertahan tak bergeming di atas perahu. Beruntung. 

Naik banana boat.
Waktu bermain di laut telah usai. Kami dibawa menuju ke darat untuk istirahat, bersih - bersih dan makan siang. Apakah petualangan ini selesai sampai di sini? Tentu tidak! Saya akan paparkan di postingan berikutnya saja. Ini sudah terlalu panjang. [to be continued...]

p.s.
Shout out to Mas Endo, Kak Erna, and Kak Indah! Thank you for making this trip possible :)
---

Cheers! and good night to me :)

No comments:

Post a Comment